Klasifikasi Ahli Waris

PEMBAHASAN


A.    Pengelompokkan Ahli Waris

Hal-hal yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
  1. Nasabiyah (nasab), yaitu kerabat hakiki dan adanya hubungan seseorang secara darah, baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya. Hubungan ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari anaknya (cucu) dan seterusnya.
Ahli waris nasabiyah itu seluruhnya ada 21 yang terdiri dari 13 kelompok laki-laki dan 8 kelompok perempuan.
Dari kelompok laki-laki:
a.       Anak Laki-Laki
b.      Cucu Laki-Laki Dari Anak Laki-Laki Sampai Seterusnya Ke Bawah
c.       Bapak
d.      Kakek dari garis bapak
e.       Saudara laki-laki sekandung
f.       Saudara laki-laki seayah saja
g.      Saudara laki-laki seibu saja
h.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
i.        Anak laki-laki dari saudara seayah
j.        Saudara laki-laki bapak yang sekandung
k.      Paman (dari bapak) yang seayah saja
l.        Anak laki-laki dari paman yang sekandung
m.    Anak laki-laki paman yang seayah
Dari kelompok perempuan:
a.       Anak perempuan
b.      Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
c.       Ibu
d.      Nenek dari ibu
e.       Nenek dari bapak
f.       Saudara perempuan sekandung
g.      Saudara perempuan sebapak saja
h.      Saudara perempuan seibu saja[1]
  1. Sababiyah (sebab), hubungan kewarisan timbul karena sebab:
a.       Adanya pernikahan (akad nikah secara legal dan syar’i).
b.       Al-Wala (kekerabatan karena sebab hukum), seperti seorang majikan yang memerdekakan budaknya, baik majikan laki-laki ataupun majikan perempuan.
Kedudukan mereka sabagai ahli waris telah ditetapkan dalam Al-Qur’an surat  An-Nisa’ ayat 12:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (النساء :12)

            “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu it mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat (dan) sesudah dibayarhutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-sauada seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah di penuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dipenuhi hutannya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

1.      Kelompok Ahli Waris Dzawil Furudh (Ashabul Furudh)

Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Ashabul furudh yang sudah ditetapkan besarannya, seperti 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 hingga 2/3. Sebagai contoh, seorang istri yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat 1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya, yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri. Tapi intinya, ashabul furudh adalah para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta muwarritsnya.[2]
Dalam terjemah kitab Fathul Qarib, orang-orang yang berhak mendapat warisan dari pihak laki-laki, yakni mereka yang disepakati atas mendapatkan warisan, ada 10 dengan hitungan secara ringkas, sedangkan hitungan secara luas jumlahnya ada 15 orang. Dan mushannif menghitung 10 orang dengan perkataannya:
1.      Anak laki-laki
2.      Anak laki-laki dari anak laki-laki (seterusnya ke bawah)
3.      Ayah
4.      Kakek (seterusnya ke atas)
5.      Saudara laki-laki
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki walau jauh (seterusnya ke bawah)
7.      Paman (saudara laki-laki ayah)
8.      Anak laki-laki dari paman walau jauh
9.      Suami
10.  Majikan laki-laki yang telah memerdekakan (budaknya).
Apabila semua ahli waris dari pihak laki-laki berkumpul, maka yang dapat dipastikan memperoleh warisan adalah 3 orang, yaitu: ayah, anak laki-laki, suami. Mayit dalam contoh ini adalah seorang perempuan.
Sedangkan orang-orang yang mendapatkan warisan dari pihak perempuan, yakni mereka yang disepakati atas mendapatkan warisan, ada 7 dengan hitungan secara ringkas, sedangkan dengan hitungan secara luas jumlahnya ada 10 orang. Dan mushannif menghitung 7 orang dengan perkataannya:
1.      Anak perempuan
2.      Anak  perempuan dari anak laki-laki (seterusnya ke bawah)
3.      Ibu
4.      Nenek (seterusnya ke atas)
5.      Saudara perempuan
6.      Istri
7.      Majikan perempuan yang telah memerdekakan (budaknya).
Apabila semua ahli waris dari pihak perempuan berkumpul, maka dari mereka yang mendapat hak waris adalah 5 orang, yaitu: anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri, saudara perempuan sekandung. Mayit dalam contoh ini adalah seorang laki-laki. Orang yang tidak gugur dari ahli waris ada 5 orang, yaitu: suami, istri, ayah, ibu, anak kandung laki-laki atau perempuan.[3]

2.      Kelompok Ahli Waris 'Ashabah

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang majikan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris dari budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
a.       'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita)
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
1)      Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
2)      Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3)      Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4)      Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) dari pada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat dari pada arah saudara. Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah dijelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah. Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.

b.      'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
Ashabah bi ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa, apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ahli waris ashabah bi ghair adalah:
1)      Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.
2)      Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki.
3)      Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
4)      Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘ashabah, maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan.[4]

c.       'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Ashabah ma’al ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ashabah ma’al ghair adalah:
1)      Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
2)      Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Dan dalam terjemah kitab Fathul Qarib, derajat yang paling dekat dari orang yang mendapatkan warisan ‘ashabah (lebihan), yang dikehendari dari ‘ashabah adalah orang yang tidak memiliki bagian pasti atau yang dipastikan saat dirinya mendapat ‘ashabah, yakni dari orang-orang yang disepakati atas mendapatkan warisan. Diungkapkannya kata-kata "tidak ada bagian saat mendapat ‘ashabah" agar ayah dan kakek dapat masuk pada definisi orang-orang yang mendapat ‘ashabah, karena masing-masing dari mereka berdua memperoleh bagian pasti atau yang dipastikan di saat mereka tidak status ‘ashabah. Ahli waris ‘ashabah yang terdekat, yaitu:
1)      Anak laki-laki
2)      Cucu laki-laki
3)      Ayah
4)      Kakek
5)      Saudara laki-laki seayah dan seibu
6)      Saudara laki-laki seayah saja
7)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu
8)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja
9)      Paman
10)  Anak laki-laki dari paman
Bila al-‘ashabat (penerima bagian yang tak pasti banyaknya) tersebut sudah tidak ada, maka majikan yang telah memerdekakan mayat (budak) itu yang menerima warisan selaku al-ashabat.[5] Apabila tidak ada ahli waris ‘ashabah yang dari jalur nasab maupun jalur wala'/kepemilikan, maka harta tinggalan mayat tersebut menjadi hak baitul mal (kas negara).[6]

B.     Kedudukan Para Ahli Waris

1)      Anak Laki-laki (ابن). Mengingat kedudukan anak laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang lain.
a.       Bagian: Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak perempuan.
Seorang anak laki-laki mendapat warisan dengan cara ‘ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada. Terkadang sisanya besar, terkadang sisanya kecil. Bahkan bisa saja sisanya sama dengan seluruh harta, misalnya karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain anak laki-laki.
Contoh:
1)      Seseorang meninggal dunia dengan nilai total warisan sebesar 10 milyar, tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya: anak laki-laki tunggal itu mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar. Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta, yang dalam hal ini tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul furudh yang masih hidup.
Ahli Waris
Bagian
Nilai
Anak laki-laki
1/1
10 milyar
2)      Seorang meninggal dunia dengan harta 7 milyar, tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya 7 orang anak laki-laki semua.
Penyelesaian: harta dibagi rata kepada tujuh orang. Jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli Waris
Bagian
Nilai
Anak laki-laki 1
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 2
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 3
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 4
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 5
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 6
1/7
1 milyar
Anak laki-laki 7
1/7
1       milyar
3)      Seorang laki-laki wafat dengan harta 8 milyar, meninggalkan ahli waris seorang istri dan seorang anak laki-laki. Istri adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8 (1 milyar dari keseluruhan harta 8 miliyar). Sisanya adalah 7/8 bagian (7 milyar), menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8. Hak anak laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri almarhum.
Ahli Waris
Bagian
Nilai
Istri
1/8
1 milyar
Anak laki-laki (ashabah)
7/8
7 milyar
b.      Menghijab
1)      saudara seayah-ibu
2)      saudari seayah-ibu
3)      saudara seayah
4)      saudari seayah
5)      keponakan (anak saudara seayah-ibu)
6)      keponakan (anak saudara seayah)
7)      paman (saudara ayah seayah-ibu)
8)      paman (saudara ayah seayah)
9)      sepupu (anak laki paman seayah-ibu)
10)  sepupu (anak laki paman seayah)
11)  cucu (anak laki dari anak laki)
12)  cucu (anak wanita dari anak laki)
13)  saudara & saudari seibu

2        Anak Perempuan (بنت). Anak perempuan yang dimaksud adalah anak perempuan dari muwarrits yang telah meninggal dunia.
a.       Bagian:
1/2 jika menjadi satu-satunya anak almarhum
2/3 jika ada dua orang atau lebih dan almarhum tidak memiliki anak laki-laki
ashabah jika almarhum punya anak lak-laki, dengan ketentuan bagiannya 1/2 dari bagian anak laki-laki.

Anak perempuan bisa punya tiga kemungkinan dalam menerima waris dari orang tuanya.
Pertama, dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun baik saudara laki-laki atau pun saudara perempuan.
وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta warisan yang ada. (QS. An-Nisa’: 11).
Kedua, dia mendapat 2/3 dari semua harta jika dia mempunyai saudara perempuan. Dan mereka semua akan mendapat jatah total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya perempuan dan tidak ada saudara laki-laki satu pun.
فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ... (QS. An-Nisa': 11).
Ketiga, dia mempunyai saudara laki-laki, dia bersama saudara laki-lakinya akan mendapat ‘ashabah atau sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya dengan ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima saudara laki-lakinya.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa’ : 11).

b.      Menghijab
Saudara dan saudari seibu.
Cucu (anak perempuan dari anak laki-laki).
Ada 2 orang yang dihijab oleh anak perempuan. Pertama, saudara atau saudari seibu tidak seayah. Kedua, cucu perempuan almarhum, dengan syarat jumlah anak perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki yang menjadikan cucu perempuan sebagai ashabah bersamanya.

3        Istri (زوجة). Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik suaminya. Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian suami.
a.       Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian, yaitu 1/4 atau 1/8.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara' waris, maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya. Diantara fara' waris antara lain: anak laki-laki, anak perempuan, juga cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Sedangkan cucu laki atau cucu perempuan dari anak perempuan, bukan termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak termasuk dalam daftar ahli waris penerima warisan.
Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah 1/8 dari harta peninggalan suami.

b.      Menghijab.
Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari ahli waris suami. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya.

4        Suami. Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya, maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik istrinya. Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang menjadi bagian istri.
a.       Bagian. Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2 atau 1/4.
Pertama, bila istri yang meninggal itu tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta peninggalan almarhumah istrinya.
Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4 dari harta peninggalan istri.
b.       Menghijab. Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun dari ahli waris istri. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya.
5        Ayah. Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik anak itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Tentu saja syaratnya adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal dunia. Kalau ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli waris.
a.       Bagian. Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 jika almarhum punya fara' waris laki-laki.
1/6 ditambah dengan sisa, jika almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara'
waris laki-laki.
Ashabah, jika almarhum tidak punya fara' waris.
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu anaknya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Fara' waris perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara' waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal ini ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama." (HR Bukhari).
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut:
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11).
Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu tentu masih bersisa, dan sisanya adalah untuk ayahKarena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang merupakan ‘ashabah juga. Meskipun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain yang juga berhak menjadi ‘ashabah, namun ayah telah menghijab mereka dan mengambil hak ‘ashabah itu untuk dirinya, dengan dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta dengan cara ‘ashabah, setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau pun perempuan.
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang istri dan seorang ayah. Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak ayah sebagai ashabah bi nafsihi.

b.      Menghijab.
Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada 12 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah:
1)      kakek (ayahnya ayah)
2)      Nenek (ibunya ayah)
3)      saudara seayah-ibu
4)      saudari seayah-ibu
5)      saudara seayah
6)      saudari seayah
7)      keponakan (anak saudara seayah-ibu)
8)      keponakan (anak saudara seayah)
9)      paman (saudara ayah seayah-ibu)
10)  paman (saudara ayah seayah)
11)  sepupu (anak laki paman seayah-ibu)
12)  sepupu (anak laki paman seayah)


6        Ibu. Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang meninggal dunia. Bila saat meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu mendapat warisan.
a.       Bagian. Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 jika almarhum punya fara' waris  .
1/3 jika almarhum tidak punya fara' waris .
1/3 dari sisa seluruh harta, bila almarhum punya fara' waris.
Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya itu punya fara' waris.
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari harta peninggalan almarhum anaknya, bila anaknya tidak punya fara' waris.
Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta yang sudah diambil oleh para ashabul furudh, namun haknya yang 1/3 tidak berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat dengan meninggalkan hanya 3 orang ahli waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu. Kasus ini terjadi di zaman khalifah Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan istilah kasus Umariyatain.
Istilah kasus ini adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab r.a. Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada kata:
 وورثه أبواه .
Menurut Khalifah Umar r.a. dan kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur ulama, kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa warisan yang diambil oleh suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak menerima waris secara fardh (1/3) dari asal harta. Sebaliknya, menurut Ibnu Abbas r.a, ibu mendapat 1/3 dari asal harta sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam pandangan Khalifah Umar, kalau demikian itu tidak ada arti kata tersebut.
Maka dalam kasus ini, suami yang ditinggal mati istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta. Sisanya, yaitu 1/2 menjadi hak ayah dan ibu berdua secara ‘ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat 1/3 dari jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
b.      Menghijab. Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya, yaitu nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah. Atau dengan kata lain, dia menghijab ibunya sendiri dan ibu dari suaminya.
7        Kakek. Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah. Seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup, maka kakek (ayahnya ayah) terhijab, sehingga kita tidak bicara tentang warisan buat kakek. Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam kondisi bahwa ayah almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.
a.       Bagian. Seorang kakek memiliki tiga macam kemungkinan dalam menerima hak warisnya.
1/6 jika almarhum punya fara' waris laki-laki.
1/6 ditembah dengan sisa harta, jika almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki.
‘Ashabah, jika almarhum tidak punya fara' waris.
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari harta anaknya yang meninggal. Syaratnya, almarhum cucunyanya itu punya fara' waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu cucunya yang meninggal itu punya fara' waris perempuan dan tidak punya fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal ini kakek sebagai gantinya ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya.
Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah mendapat seluruh harta dengan cara ‘ashabah, setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau pun perempuan.
b.      Menghijab.
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh kakek adalah:
1)      saudara seayah-ibu
2)      saudari seayah-ibu
3)      saudara seayah
4)      saudari seayah
5)      keponakan (anak saudara seayah-ibu)
6)      keponakan (anak saudara seayah)
7)      paman (saudara ayah seayah-ibu)
8)      paman (saudara ayah seayah)
9)      sepupu (anak laki paman seayah-ibu)
10)  sepupu (anak laki paman seayah)
11)  saudara/i yang hanya seibu (rajih)

8        Nenek. Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum.
a.       Bagian. Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah.
b.      Dihijab. Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah dan ibu.
9        Saudara seayah-seibu. Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah dan ibu yang sama.
a.       BagianSaudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ‘ashabah, dengan syarat kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian. Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang sama-sama seayah dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat 1/4.
b.      Menghijab
1)      saudara seayah
2)      saudari seayah
3)      keponakan (anak saudara seayah-ibu)
4)      keponakan (anak saudara seayah)
5)      paman (saudara ayah seayah-ibu)
6)      paman (saudara ayah seayah)
7)      sepupu (anak laki paman seayah-ibu)
8)      sepupu (anak laki paman seayah)
c.       Dihijab oleh anak laki-laki, ayah, ayahnya ayah (kakek), dan cucu laki-laki.
10    Saudari seayah-seibu. Termasuk yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
a.       Bagian
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
11    Saudara seayah (أخ لأب). Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan saudara ini dengan almarhum bahwa mereka punya ayah yang sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa lebih sederhana, hubungan antara almarhum dengan dirinya adalah saudara tiri.
a.       Bagian.
Saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan cara ‘ashabah. dengan syarat kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya. Artinya, almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek, termasuk almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu.
b.      Menghijab
1)      keponakan (anak saudara seayah-ibu)
2)      keponakan (anak saudara seayah)
3)      paman (saudara ayah seayah-ibu)
4)      paman (saudara ayah seayah)
5)      sepupu (anak laki paman seayah-ibu)
6)      sepupu (anak laki paman seayah)
c.       Dihijabi oleh anak laki-laki, ayah, ayahnya ayah (kakek), saudara laki-laki seayah seibu, saudara perempuan seayah seibu, cucu laki-laki.

12    Saudari seayah (أخت لأب). Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah bahwa dirinya punya ayah yang sama dengan almarhum, tapi ibu mereka berbeda. Saudari tiri juga termasuk yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
a.       Bagian. Saudari seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian dari seluruh harta milik almarhum.
Ketiga, dia mendapat waris secara ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
13    Cucu Laki-laki (ابن ابن). Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya sebagai paman, maka cucu tidak mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya.
a.       Bagian. Hak seorang cucu mirip yang diterima seorang anak laki-laki. Karena kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-laki. Seorang cucu laki-laki mendapat warisan dengan cara ‘ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung seberapa besar sisa yang ada.
b.      Menghijab. Ahli waris:
1)      saudara seayah-ibu
2)      saudari seayah-ibu
3)      saudara seayah
4)      saudari seayah
5)      keponakan (anak saudara seayah-ibu)
6)      keponakan (anak saudara seayah)
7)      paman (saudara ayah seayah-ibu)
8)      paman (saudara ayah seayah)
9)      sepupu (anak laki paman seayah-ibu)
10)  sepupu (anak laki paman seayah)
11)  saudara & saudari seibu

c.       Dihijab oleh: anak laki-laki. Dalam kenyataannya, bisa saja cucu laki-laki merupakan anak dari anak laki-laki, tapi bisa juga bukan anak tetapi keponakan. Tapi intinya, selama almarhum masih punya anak laki-laki, cucu laki-laki akan terhijab.
14    Keponakan (anak saudara seayah-ibu).
15    Keponakan (anak saudara seayah).
16    Paman (saudara ayah seayah-ibu).
17    Paman (saudara ayah seayah).
18    Sepupu (anak laki paman seayah-ibu).
19     Sepupu (anak laki paman seayah).
20    Cucu Perempuan.
21    Nenek Dari Ibu.
22    Saudara/i Seibu.


-----------------------------------------------------------------------------------------




DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Rofiq. 2001. Fiqih Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Abu Hazim Mubarok. 2013. Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib. Kediri: Mukjizat.
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak. 2008. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Syaikh Abu syuja' al-Asfihani. 2008. Fiqih Islam Terjemah Matn al-Ghaayah wat Taqrib.
Surabaya: Ampel Mulia,


[1] Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), hlm. 82.
[2] Ahmad Sarwat, Fiqih Mawaris, (DU CENTER, tt.), Hlm. 33.
[3] Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, (Mukjizat, Kediri: 2013), Hlm. 92-94.
[4] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001),  hlm. 79.
[5] Syaikh Abu syuja' al-Asfihani, Fiqih Islam Terjemah Matn al-Ghaayah wat Taqrib, (Ampel Mulia, Surabaya:  2008), Hlm. 101.
[6] Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, (Mukjizat, Kediri: 2013), Hlm. 95-97.

Komentar

  1. BetMGM - Gaming and Dining - DRMCD
    Visit WynnBET to experience 김포 출장마사지 the hospitality 인천광역 출장안마 of a world-renowned Vegas 경기도 출장마사지 casino. Make it 동해 출장안마 a 포천 출장마사지 sure bet you never miss a beat!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tingkatan Perawi Hadits

Ayat dan Hadits mengenai Etos Kerja dan Kewirausahaan