Ayat dan Hadits mengenai Etos Kerja dan Kewirausahaan
Ayat dan Hadits mengenai
Etos Kerja dan Kewirausahaan
PENDAHULUAN
Agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai
tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur
dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan
dalam masalah yang berkenaan dengan kerja. Islam sebagai agama Allah yang
sempurna memberikan petunjuk kepada manusia tentang bidang usaha yang halal,
cara berusaha, dan bagaimana manusia harus mengatur hubungan kerja dengan sesama
mereka supaya memberikan manfaat yang baik bagi kepentingan bersama dan dapat
menciptakan kesejahteraan serta kemakmuran hidup bagi segenap manusia.
Rasulullah SAW. bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan
kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati
besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang
kuat lebih baik dari pada muslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat
bekerja.” Nyatanya, kita lebih condong bersikap dan bertingkah laku berlawanan
dengan apa yang telah diungkapkan tadi. Dalam bidang usaha dan wiraswasta Islam
benar-benar memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas untuk dapat dijadikan
pedoman melakukan usaha dan wiraswasta yang baik.
Selain itu, Islam juga mengatur secara jelas hubungan kerja antara
pemberi kerja dan karyawan atau buruh atau pembantu yang melaksanakan perintah
dari pemberi kerja. Islam juga memberikan petunjuk dengan jelas masalah
utang-piutang antara seseorang dan yang lain dalam melakukan transaksi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, karena masalah utang-piutang merupakan hal yang
tidak bisa diabaikan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam situasi
globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak
hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan
nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui batasan yang telah
ditetapkan al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits dan sunnah Rasul). Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
-------------------------------------------------------------------------------
PEMBAHASAN
A. Hakekat Etos Kerja dan Wirausaha dalam Islam
Ethos berasal dari
bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan
atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi
juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya.
Sedangkan wirausaha berasal dari kata wira dan usaha. Wira berarti laki-laki,
pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani
(jantan) dan berwatak agung. Usaha berarti kegiatan, perbuatan amal, bekerja
dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud.
Wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wirausaha adalah orang yang pandai
atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun
operasi untuk mengadakan produk baru, mengatur permodalan operasinya serta
memasarkannya. Jadi wirausaha itu mengarah kepada orang yang melakukan
usaha/kegiatan sendiri dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
عن المقدام رضي الله عنه
، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ما أكل آحد طعاما قط خيرا من ان يأكل من
عمل يده. وان نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده (أخرجه البخارى)
Artinya: “Dari Al-Miqdam
bin Ma’dikariba ra., dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: seseorang yang
makan hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya nabi Daud as., makan
dari hasil usahanya sendiri.”
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait
konsep tentang kewirausahaan (entrepreneurship) ini, namun di antara keduanya
mempunyai kaitan yang cukup erat, memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat,
meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam Islam digunakan istilah
kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng. Setidaknya
terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan
tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti: “Amal yang paling
baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri.”
(HR.Abu Daud).
Hadits tentang berkerja
yang terampil.
عن عاصم بن عبيد الله ،
عن سالم ، عن أبيه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان الله يحب المؤمن
المحترف.
Artinya: Dari ashim bin
ubaidillah, dari salim, dari bapaknya, berkata: Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah SWT menyangi orang mukmin yang bekerja secara terampil.”
Dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 88 dikenal kata “itqon”
yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
وَتَرَى الْجِبَالَ
تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي
أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (٨٨)
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di
tempatnya, pedahal is berjalan sebagai jalan awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan
lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah
terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut
sebagaimana Nabi Daud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan
harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan dengan adil
dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran, sebagaimana dalam QS. Ash Shaad
ayat 22.
إِذْ دَخَلُوا عَلَى
دَاوُدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى
بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ
الصِّرَاطِ (٢٢)
“Ketika mereka masuk (menemui) Nabi Daud lali ia terkejut karena
(kedatangan ) mereka. Mereka berkata: “janganlah kamu merasa takut, (kami) adalah
dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada
yang lain, maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu
menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami jalan yang lurus.”
B. Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang
dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau
fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau
keakhiratan. Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan WJS. Poerdarminta
mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah
sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang
muslim adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset dan
zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba
Allah SWT. yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari
masyarakat yang terbaik. Seperti dalam surat Al-Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Al-Qashash: 77).
Bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai
tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Seorang pekerja yang ikhlas dan terampil adalah ciri insan yang cerdas dan ahli
dalam melakukan sesuatu dan ahli dalam pekerjaannya, mampu menunaikan tugas
yang diberikan kepadanya secara terampil dan sempurna, dan diiringi adanya
perasaan selalu diawasi oleh Allah dalam setiap pekerjaannya, semangat yang
penuh dalam meraih keridhaan Allah dibalik pekerjaannya.
Di dalam kaitan ini, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah
dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat
tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang
dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an
juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di
dalam Al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602
kata, bentuknya:
1. Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja),
di antaranya dalam surat Al-Baqarah: 62, An-Nahl: 97, dan Al-Mukmin: 40.
2. Kata ‘amal (perbuatan) sebanyak 17
kali, di antaranya dalam surat Hud: 46, dan Al-Fathir: 10.
3. Kata wa’amiluu (mereka telah
mengerjakan) sebanyak 73 kali, diantaranya surat Al-Ahqaf: 19 dan An-Nur: 55.
4. Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti
dalam surat Al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5. Sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka,
‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, Al-Kahf: 102, Yunus: 41, Az-Zumar: 65,
Al-Fathir: 8, dan At-Thur: 21.
6. Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun,
‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam
surat Al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan Al-Ahzab: 31.
7. Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang
mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul
khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan
merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi
ukuran pahala dan hukuman, Allah SWT berfirman:
... فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا ...
“…barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…”
(Al-Kahfi: 110).
Ada pula ayat Al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara
sempit, misalnya firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ
لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ ...
“Dan Telah kami ajarkan
kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam
peperanganmu…” (Al-Anbiya: 80).
Dalam surah Al-Jumu’ah
ayat 9 dan 10, Allah SWT menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumaat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9).
فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila Telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah:
10).
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً
أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ
خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk
menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).
Katakanlah: ‘Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan’, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki. (Surah Al-Jumu’ah: 11).
Konsep kerja yang diberikan Islam memiliki pengertian yang luas, namun
demikian jika menghendaki penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan
kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan aktivitas
spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga
mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dalam
pengertian ini tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari
pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara
jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad yang lalu, dalam
pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja:
1. Al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan
kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini
pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa
angkutan dan kuli.
2. Al-Muwadzofin: mereka yang secara legal
mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai
negeri.
3. Al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan
makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4. Al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam,
diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW
bersabda, “berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya.” (HR.
Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan: “Besar gaji
disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita
dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan
seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai salah
seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan
teliti).” (HR. Al-Baihaki).
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat
Al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang
orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan. Penggunaan istilah perniagaan,
pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana
kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan
usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai
suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah bersabda bahwa
“sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dan dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ
تَرَكَ دُنْيَاهُ لِأَخِرَتِهِ وَتَرَكَ أَخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ
مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ إِلَآ الْأَخِرَةِ وَلاَ
تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ (رَوَاه ابن عساكر(
Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda,
“Tidak baik orang yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat saja, atau
meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia saja, tetapi harus memperoleh
kedua-duanya. Karena kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju akhirat. Oleh
karena itu jangan sekali-kali menjadi beban orang lain.” (HR. Ibnu `Asakir).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh
seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan
batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai
suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman
Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan
menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ
مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya
dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian…” (Al-Baqarah: 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa
merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa
merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan
Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah
kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan
kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang
harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti
adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan
disamping mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus
mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah
yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka
bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah,
kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu
dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki
motivasi untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu
memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang
berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang
penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah,
kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan
menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah
yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam
bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya
pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR.
Hambali)
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh
jenis pekerjaan. Firman Allah SWT:
3. “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
4. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang
mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal
lain yang diharamkan Allah.
5. Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami
dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak
cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi
dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa
professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga
menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen
serta kerusakan alat-alat produksi.
------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anonim. 1990. Al-Qur’an
dan Terjemahan. Depag RI.
Anonim. 1997. Konsep
dan etika kerja dalam Islam. Almadani.
Anonim. 1990. Mengangkat
Kualitas Hidup Umat. Jakarta: Dirjen BIMAS Islam.
Shihab, Quraish. 1998. Wawasan
al-Qur’an. Jakarta: Mizan.
Wagino, Asnan Syafi’I. Menabur
Mutiara Hikmah. Jakarta: Mizan
Muhammad bin Allan.
1995. Dalilul Falihin Juz 2. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Imam Syihabuddin Ahmad
Bin Muhammad al-Qasthalani. 1996. Irsyadus Syari’, Syarah
Shahih al Bukhori. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al-imam Abi Bakar Ahmad
Ibn Husein Al-Baihaqi. Syu’bul Iman juz. 2. Beirut: Ad-Darul
Kutubul Ilmiah.
Al-Math, Muhammad Faiz.
1991. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema Insani Press.
Website:
Komentar
Posting Komentar