Zakat Ma'din (Barang Tambang) dan Rikaz (Harta Terpendam)
Zakat
Ma'din (Barang Tambang)
dan Rikaz (Harta Terpendam)
-----------------------------------------------------------------------------------
PEMBAHASAN
MA’DIN DAN RIKAZ
A. Ma’din
(barang Tambang)
1
Pengertian Ma’din
Ma'din (barang tambang) adalah segala benda
berharga yang ditemukan dari perut bumi, seperti emas, perak, permata, besi,
timah, tembaga, dll. Menurut Imam
Syafi'i dan Imam Malik, ma'din yang wajib dizakati hanya jenis emas dan
perak. Selain emas atau perak tidak wajib dizakati.[1]
Apabila telah mencapai nishob maka wajib dizakati sebanyak 2,5%, dan zakat
dikeluarkan pada saat barang tambang itu diperoleh sehingga tidak perlu
menunggu sampai satu tahun.[2]
Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ بِلَال بِنْ الحَارِثْ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَخَذَ مِنَ
الْمَعَادِنِ الْقَبَلِيَةِ الصَّدَقَةَ
"Dari Bilal bin Al-Harits ra.:
sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengambil zakat dari barang tambang".
(HR Abu Dawud).
Sabda
Rasulullah SAW.:
فِى
الرِّقَّةِ فِى مِاَتَى دِرْهَمٍ رُبْعُ الْعُشْرِ. رواه البخارى
"Pada
emas-perak, zakat keduanya seperempat puluh (2,5%)." (Riwayat Bukhari).
Ulama fiqih sepakat bahwa barang tambang wajib
dikeluarkan zakatnya, namun berbeda pendapat tentang jenis barang tambang yang
wajib dizakati dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Menurut pendapat yang
masyhur di kalangan Syafi'iyah dan Malikiyah, nishobnya ma'din sama
dengan nishobnya emas dan perak (emas 77,58 gr dan perak 543,06 gr). Sedangkan
zakat yang harus dikeluarkan adalah 1/4 atau 2,5% (rubu'ul 'uryur) untuk
ma'din.[3]
2
Syarat Wajib
Zakat Ma’din
Seseorang yang memperoleh barang tambang (yang
berupa emas atau perak) wajib mengeluarkan zakatnya apabila telah menepati
syarat sebagai berikut:
a.
Islam
b.
Merdeka
(bukan budak atau hamba sahaya)
c.
Hak
milik nishob
d. Mencapai nishob
Zakatnya ma'din tidak disyaratkan haul atau
genap setahun. Artinya, apabila menemukan ma'din dan telah menetapi
syarat di atas, maka setelah dibersihkan dari kotoran (tanah dan lain-lain)
wajib segera mengeluarkan zakatnya tanpa harus menunggu masa satu tahun.
3
Nishob dan Kadar
Zakatnya Ma'din (Barang Tambang)
Emas :
Nishobnya = 20 mitsqol syar'i
atau = 85 gram.
Zakatnya = 1/40 atau
2,5%
Contoh:
Jumlah emas (ma'din) 120 gram.
=> 120 : 40 (atau x 2,5%) = 3 gram
Zakatnya = 3
gram.
Perak :
Nishobnya = 200 dirham syar'i atau= 595 gram.
Zakatnya = 1/40 atau
2,5%
Contoh:
Jumlah perak (ma'din) 600 gram
=> 600 : 40 (atau x 2,5%) = 15 gram
Zakatnya = 15 gram.
Seperti yang telah dikemukakan, tidak ada kewajiban
atas zakat hasil tambang kecuali jika berupa emas dan perak. Juga terdapat
perbedaan pendapat tentang diperlukannya berlalunya masa setahun (haul)
atau tidaknya. Zakat hasil tambang berupa emas dan perak, disamakan dengan
zakat perdagangan (yakni 2.5% dari jumlahnya), mengingat bahwa ia adalah usaha
yang diharapkan labanya seperti halnya dalam perdagangan. Tetapi tidak perlu
ada persyaratan haul, demi memperhatikan kepentingan kelompok-kelompok
penerima. Dalam hal ini, ia dapat disamakan dengan zakat pertanian. Begitu pula
tentang dipenuhinya persyaratan nishab-nya.
Walaupun demikian, untuk ihtiyath-nya
(menjaga diri dari kemungkinan tersalah), sebaiknya mengeluarkan khumus-nya,
baik dari hasil yang banyak maupun yang sedikit. Dan, juga dikeluarkan dalam
bentuk emas dan perak yang dihasilkan. Semua ini demi menghindari khilafiyat
(perbedaan pendapat) di kalangan para ahli fiqih.[4]
B.
Rikaz
(Harta Terpendam) / Luqothoh (Harta Temuan)
1
Pengertian Rikaz
Rikaz (harta terpendam) adalah harta pendaman kafir jahiliah (orang-orang
sebelum datangnya Islam). Menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik, rikaz
yang wajib dizakati hanya jenis emas dan perak. Selain emas atau perak tidak
wajib dizakati.
Makna luqathah menurut syara' ialah harta
yang tersisa/hilang dari pemiliknya sebab jatuh atau kelalaian/kelengahan dan
yang semacamnya. Bila ada seseorang, baik ia sudah baligh/dewasa atau belum,
orang Islam atau bukan, fasiq atau tidak, menemukan/menjumpai barang temuan di
suatu bumi mati atau di jalan, maka baginya boleh mengambil barang tersebut
atau meninggalkannya, itupun jika orang yang hendak mengambil dapat dipercaya
menjaga/menjalankan barang temuan tersebut.
Menurut pendapat yang masyhur di kalangan
Syafi'iyah dan Malikiyah, nishobnya rikaz sama dengan nishobnya emas dan
perak (emas 77,58 gr dan perak 543,06 gr). Sedangkan zakat haus dikeluarkan
adalah 1/5 atau 20% (al khumus) untuk rikaz.[5]
Sabda
Rasulullah SAW.:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَفِى
الرِّكَازِ الْخُمُسُ. رواه البخارى ومسلم.
Dari
Abu Hurairah: "Telah berkata Rasulullah SAW.: Zakat rikaz seperlima."
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
2
Syarat Wajib
Zakatnya Rikaz
Seseorang yang menemukan harta terpendam (yang
berupa emas atau perak) wajib mengeluarkan zakatnya apabila telah menepati
syarat sebagai berikut:
a. Islam
b. Merdeka (bukan budak atau hamba sahaya)
c. Hak milik nishob
d. Mencapai nishob
Zakatnya rikaz
tidak disyaratkan haul atau genap setahun. Artinya, apabila menemukan rikaz
dan telah menetapi syarat di atas, maka setelah dibersihkan dari kotoran (tanah
dan lain-lain) wajib segera mengeluarkan zakatnya tanpa harus menunggu masa
satu tahun. Adapun nishobnya, setengah ulama berpendapat: disyaratkan sampai
satu nishob, pendapat ini menurut mazhab Imam Syafi'i. Pendapat yang lain,
seperti pendapat Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dan
pengikut-pengikut mereka: bahwa nishob itu tidak menjadi syarat.
Rikaz menjadi
kepunyaan yang mendapatkannya dan wajib atasnya membayar zakat apabila didapat
dari tanah yang tidak dipunyai orang. Tetapi kalau didapat dari tanah yang
dipunyai orang, maka perlu ditanyakan kepada semua orang yang telah memiliki
tanah itu. Jika tidak ada yang mengakui, maka rikaz itu menjadi kepunyaan orang
yang membuka tanah itu.[6] Selain
itu, harta terpendam dinamakan rikaz yang nota bene setelah dizakati
bisa dimiliki, apabila menetapi persyaratan sebagai berikut:
a.
Harta pendaman orang jahiliyah
Harta terpendam yang memiliki tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa harta tersebut milik orang-orang yang hidup sebelum datangnya
Islam, atau setelah datangnya Islam namun da'wah islamiyah belum sampai di
daerah tersebut. Tanda-tanda tersebut bisa berupa nama, tahun pembuatan, atau
simbol-simbol raja yang hidup pada masa sebelum Islam. Oleh sebab itu, harta
terpendam yang di dalamnya terdapat tanda zaman Islam, tidak disebut rikaz
tetapi masuk kategori luqothoh atau harta temuan.[7]
Hukum harta luqothoh:
a)
Jika pemilik atau ahli warisnya masih hidup dan bisa ditemukan, maka
harta harus dikembalikan pada pemilik atau ahli warisnya.
b)
Jika pemilik atau ahli warisnya sudah tidak ada atau tidak ditemukan
setelah diumumkan selama satu tahun, maka harta temuan bisa dimiliki (untuk
sementara), dan jika suatu saat pemilik aslinya bisa ditemukan, maka wajin
dikembalikan/diganti.
Sedangkan harta terpendam yang didalamnya tidak
terdapat tanda-tanda zaman Islam maupun zaman jahiliyah, maka hukumnya sama
dengan luqothoh. Yaitu setelah diumumkan selama satu tahun harta
tersebut bisa dimiliki (untuk sementara).
b.
Ditemukan di tempat yang dimiliki
Harta terpendam yang ditemukan di tempat yang
(sekarang) dia miliki dan bumi tersebut sebelumnya belum pernah dimiliki oleh
oranb lain, atau ditemukan di lahan kosong yang belum pernah dimiliki/dibuka
oleh orang lain. Jika harta ditemukan di tempat yang bukan miliknya/tempat yang
pernah dimiliki orang lain, maka status harta tersebut adalah harta luqothoh.
Bila si penemu meninggalkan luqathah, tanpa
mengambilnya, maka baginya tidak terkena tanggungan ganti rugi (jika barang
temuan tadi menjadi rusak). Dan tidak wajib mempersaksikan atas mengambil
barang temuan yang untuk dimiliki atau dipelihara/dijaga. Hendaknya qadli
(hakim) merampas barang yang ditemukan oleh orang fasiq dan menyerahkannya
kepada orang yang adil serta jujur. Dan qadli (hakim) tidak boleh percaya penuh
atas pengumumannya seorang fasiq terhadap barang temuan, akan tetapi qadli
menyuruh seorang pengintai yang adil (guna mengawasi) yang dapat mencegah orang
fasiq berkhianat pada barang temuannya.
Dan hendaknya Wali (orang yang dipasrahi mengurus
perkaranya seseorang) merampas/mengambil luqathah dari tangan anak kecil
dan mengumumkannya. Kemudian jika setwlah mengumumkan (tidak ada yang mengakui)
maka wali boleh menjadi kepemilikan barang temuan tersebut untuk anak kecil,
jika memang dirasa ada mashlahah dalam menjadikan kepemilikan barang tersebut
untuk anak kecil.[8]
Jika multaqith (orang yang menemukan barang temuan)
menghendaki untuk memiliki luqathah, maka ia harus mengumumkannya selama
satu tahun di pintu-pintu masjid saat masyarakat keluar dari sholat
berjamaahnya. Dan di tempat dimana luqathah itu ditemukan, dan juga di
pasar-pasar dan semacamnya tempat berkumpulnya orang banyak, mengumumkannya
harus disesuaikan adat dalam masalah waktu dan tempatnya. Adapun permulaan masa
satu tahun terhitung dari waktu mengumumkan, bukan dari waktu menemukannya.
Di dalam mengumumkan luqathah, pihak penemu
hendaknya menyebutkan sebagian sifat/ciri dari barang temuan itu. Jia dalam
menyebutkan sifat/cirinya terlalu jelas (menyebutkan seluruh sifatnya), maka ia
wajib menanggung ganti rugi jika ternyata salah orang. Dan tidak wajib
menanggung biaya pengumuman jika mengambil barang temuan itu berdasarkan untuk
mrnjaganya, bahkan qadli (hakim) mengurus biaya tersebut yang diambil dari
baitul mal (kas negara) atau meminjamnya atas tanggungan si pemilik. Dan bila
mengambil luqathah bertujuan untuk memilikinya, maka wajib baginya
mengumumkan luqathah itu dan wajib pula memikul pembiayaannya, baik
akhirnya memiliki atau tidak memiliki barang tersebut.[9]
3
Macam-macam
Luqathah
Macam-macam luqathah dalam sebagian redaksi kitab,
yaitu:
a.
Barang yang tetap (tahan) selamanya, seperti emas dan perak. Ketentuan
hukumnya yakni mengumumkan dalam masa satu tahun dan berhak memilikinya.
b.
Barang yang tidak tetap (tahan) lama, seperti makanan basah. Maka ada
dua pilihan bagi si penemu:
1) Memakan barang itu dan bertanggung jawab atas nilai
harganya.
2)
Menjualnya dan menjaga nilai pembayarannya (harganya) sampai jelasnya si
pemilik.
c.
Barang yang bisa tetap (tahan) lama dengan diolah, seperti kurma/anggur
basah yang dikeringkan serta menjaganya, atau menjualnya serta menjaga harganya
hingga jelasnya si pemilik.
d.
Barang yang membutuhkan nafaqah (biaya hidup), seperti binatang.
1)
Binatang yang tidak dapat menjaga/melindungi dirinya dari binatang buas,
seperti kambing dan anak sapi, maka ada dua pilihan:
a. memakannya dan mengganti harganya.
b. Meninggalkannya tanpa memakannya serta bersedekah
dengan memberi makan binatang itu.
c.
Menjualnya serta menjaga harganya sampai jelasnya si pemilik.
2) Binatang yang dapat mempertahankan/melindungi
dirinya dari binatang buas, seperti unta dan kuda. Jika Multaqit (penemu)
menemukannya di suatu lading/sahara maka hendaknya ia meninggalkannya dan haram
mengambilnya untuk dimiliki. Bila ia mengambilnya dengan tujuan untuk dimiliki
maka ia harus bertanggung jawab. Dan bila multaqit menemukan binatang itu di
perumahan maka ia boleh memilih:
a. Memakannya dan mengganti harganya.
b. Meninggalkannya tanpa memakannya serta bersedekah
dengan memberi makan binatang itu.
c.
Menjualnya serta menjaga harganya sampai jelasnya si pemilik.[10]
4
Nishob dan Kadar
Zakatnya Rikaz (Harta Terpendam)
Emas :
Nishobnya = 20 mitsqol syar'i atau = 85 gram.
Zakatnya = 1/5 atau 20%
Contoh:
Jumlah emas (rikaz) 250 gram
=> 250 : 5 (atau x 20%) = 50 gram
Zakatnya = 50 gram.
Perak :
Nishobnya = dirham syar'i atau = 595 gram.
Zakatnya = 1/5 atau 20%
Contoh:
Jumlah perak (rikaz) 888 gram
=> 888 : 5 (atau x 20%) = 177,6 gram
Zakatnya = 177,6 gram.
Catatan:
Menurut sebagian ulama', jika menemukan harta yang tidak diketahui
pemiliknya, atau diketahui pemiliknya namun sudah meninggal dunia dan tidak ada
ahli warisnya, maka diperbolehkan untuk mensedekahkan harta tersebut atas nama
pemiliknya. Dan diperbolehkan juga untuk menafkahkan harta tersebut pada
dirinya sendiri atau keluarganya, jika termasuk orang yang berhak mendapat
santunan dari baitul mal.[11]
Menurut Al-Ghazali dalam
Asras Az-Zakat, Pada harta rikaz ini tidak diperlukan berlalunya haul. Juga,
sebaiknya tidak perlu mempersyaratkan terpenuhinya nishob, mengingat bahwa
kewajiban mengeluarkan khumus-nya membuatnya mirip dengan ghanimah
(rampasan perang). Tetapi mempersyaratkan terpenuhinya nishob di dalamnya, juga
dapat dipertimbangkan, karena ada pula kemiripannya dengan zakat, hal ini,
mengingat bahwa orang-orang yang berhak menerimanya sama juga seperti mereka
yang berhak menerima zakat. Dan karena itu pula, zakat rikaz harus dikeluarkan
dalam bentuk emas dan perak menurut pendapat yang shahih.[12]
----------------------------------------------------
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Abd. Hayi Imam, Muhammad Idrus. 2016. Fiqih
Zakat Al-Hayyu Teori dan Aplikasi Masalah
dan Solusi. Cirebon: Mitra Pemuda.
Abu Hazim Mubarok. 2013. Fiqh Idola Terjemah
Fathul Qarib. Kediri: Mukjizat.
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali. 2015. Rahasia Puasa
& Zakat Mencapai Kesempurnaan
Ibadah. Jakarta Selatan: Mizan.
Beni Ahmad Saebani, Encep Taufiqurrahman. 2015. Pengantar
Ilmu Fiqh. Bandung: Pustaka
Setia.
Sulaiman Rasjid. 1987. Fiqih Islam, Bandung:
Sinar Biru.
Website:
[1] Abd. Hayi Imam, Muhammad
Idrus, Fiqih Zakat Al-Hayyu Teori dan Aplikasi Masalah dan Solusi, (Mitra
Pemuda, Cirebon: 2016), Hlm. 66.
[2] Beni Ahmad Saebani, Encep
Taufiqurrahman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Pustaka Setia, Bandung: 2015),
Hlm. 131.
[4] Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Rahasia
Puasa & Zakat Mencapai Kesempurnaan Ibadah, (Mizan, Jakarta Selatan:
2015), Hlm. 75.
[5] Abd. Hayi Imam, Muhammad
Idrus, Fiqih Zakat Al-Hayyu Teori dan Aplikasi Masalah dan Solusi, (Mitra
Pemuda, Cirebon: 2016), Hlm. 66-67.
[6] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,
(Sinar Biru, Bandung: 1987), Hlm. 196-197.
[7] Abd.
Hayi Imam, Muhammad Idrus, Fiqih Zakat Al-Hayyu Teori dan Aplikasi Masalah
dan Solusi, (Mitra Pemuda, Cirebon: 2016), Hlm. 67-68.
[8] Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola
Terjemah Fathul Qarib, (Mukjizat, Kediri: 2013), Hlm. 80-81.
[9] Ibid., Hlm. 82-84.
[10] Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola
Terjemah Fathul Qarib, (Mukjizat, Kediri: 2013), Hlm. 85-87.
[11] Abd.
Hayi Imam, Muhammad Idrus, Fiqih Zakat Al-Hayyu Teori dan Aplikasi Masalah
dan Solusi, (Mitra Pemuda, Cirebon: 2016), Hlm. 69-71.
[12] Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Rahasia
Puasa & Zakat Mencapai Kesempurnaan Ibadah, (Mizan, Jakarta Selatan:
2015), Hlm. 74.
Komentar
Posting Komentar