Ayat dan Hadits mengenai Etos Kerja dan Kewirausahaan
Ayat dan Hadits mengenai Etos Kerja dan Kewirausahaan
PENDAHULUAN
Agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja. Islam sebagai agama Allah yang sempurna memberikan petunjuk kepada manusia tentang bidang usaha yang halal, cara berusaha, dan bagaimana manusia harus mengatur hubungan kerja dengan sesama mereka supaya memberikan manfaat yang baik bagi kepentingan bersama dan dapat menciptakan kesejahteraan serta kemakmuran hidup bagi segenap manusia.
Rasulullah SAW. bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada muslim yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya, kita lebih condong bersikap dan bertingkah laku berlawanan dengan apa yang telah diungkapkan tadi. Dalam bidang usaha dan wiraswasta Islam benar-benar memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas untuk dapat dijadikan pedoman melakukan usaha dan wiraswasta yang baik.
Selain itu, Islam juga mengatur secara jelas hubungan kerja antara pemberi kerja dan karyawan atau buruh atau pembantu yang melaksanakan perintah dari pemberi kerja. Islam juga memberikan petunjuk dengan jelas masalah utang-piutang antara seseorang dan yang lain dalam melakukan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena masalah utang-piutang merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui batasan yang telah ditetapkan al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits dan sunnah Rasul). Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
-------------------------------------------------------------------------------
PEMBAHASAN
A. Hakekat Etos Kerja dan Wirausaha dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Sedangkan wirausaha berasal dari kata wira dan usaha. Wira berarti laki-laki, pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani (jantan) dan berwatak agung. Usaha berarti kegiatan, perbuatan amal, bekerja dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud.
Wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wirausaha adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk mengadakan produk baru, mengatur permodalan operasinya serta memasarkannya. Jadi wirausaha itu mengarah kepada orang yang melakukan usaha/kegiatan sendiri dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
عن المقدام رضي الله عنه ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ما أكل آحد طعاما قط خيرا من ان يأكل من عمل يده. وان نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده (أخرجه البخارى)
Artinya: “Dari Al-Miqdam bin Ma’dikariba ra., dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: seseorang yang makan hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya nabi Daud as., makan dari hasil usahanya sendiri.”
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan (entrepreneurship) ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat, memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti: “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri.” (HR.Abu Daud).
Hadits tentang berkerja yang terampil.
عن عاصم بن عبيد الله ، عن سالم ، عن أبيه ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان الله يحب المؤمن المحترف.
Artinya: Dari ashim bin ubaidillah, dari salim, dari bapaknya, berkata: Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT menyangi orang mukmin yang bekerja secara terampil.”
Dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 88 dikenal kata “itqon” yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna.
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ (٨٨)
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, pedahal is berjalan sebagai jalan awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Nabi Daud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran, sebagaimana dalam QS. Ash Shaad ayat 22.
إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ (٢٢)
“Ketika mereka masuk (menemui) Nabi Daud lali ia terkejut karena (kedatangan ) mereka. Mereka berkata: “janganlah kamu merasa takut, (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain, maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami jalan yang lurus.”
B. Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan WJS. Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah SWT. yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik. Seperti dalam surat Al-Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77).
Bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT. Seorang pekerja yang ikhlas dan terampil adalah ciri insan yang cerdas dan ahli dalam melakukan sesuatu dan ahli dalam pekerjaannya, mampu menunaikan tugas yang diberikan kepadanya secara terampil dan sempurna, dan diiringi adanya perasaan selalu diawasi oleh Allah dalam setiap pekerjaannya, semangat yang penuh dalam meraih keridhaan Allah dibalik pekerjaannya.
Di dalam kaitan ini, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di dalam Al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya:
1. Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja), di antaranya dalam surat Al-Baqarah: 62, An-Nahl: 97, dan Al-Mukmin: 40.
2. Kata ‘amal (perbuatan) sebanyak 17 kali, di antaranya dalam surat Hud: 46, dan Al-Fathir: 10.
3. Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) sebanyak 73 kali, diantaranya surat Al-Ahqaf: 19 dan An-Nur: 55.
4. Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat Al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5. Sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, Al-Kahf: 102, Yunus: 41, Az-Zumar: 65, Al-Fathir: 8, dan At-Thur: 21.
6. Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat Al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan Al-Ahzab: 31.
7. Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala dan hukuman, Allah SWT berfirman:
... فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا ...
“…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110).
Ada pula ayat Al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit, misalnya firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ ...
“Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu…” (Al-Anbiya: 80).
Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 9 dan 10, Allah SWT menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumaat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9).
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10).
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: ‘Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan’, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki. (Surah Al-Jumu’ah: 11).
Konsep kerja yang diberikan Islam memiliki pengertian yang luas, namun demikian jika menghendaki penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dalam pengertian ini tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad yang lalu, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja:
1. Al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2. Al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3. Al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4. Al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, “berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya.” (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan: “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR. Al-Baihaki).
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat Al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan. Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِأَخِرَتِهِ وَتَرَكَ أَخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ إِلَآ الْأَخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ (رَوَاه ابن عساكر(
Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak baik orang yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat saja, atau meninggalkan akhirat untuk kepentingan dunia saja, tetapi harus memperoleh kedua-duanya. Karena kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju akhirat. Oleh karena itu jangan sekali-kali menjadi beban orang lain.” (HR. Ibnu `Asakir).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (Al-Baqarah: 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disamping mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR. Hambali)
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT:
3. “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
4. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5. Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi.
------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anonim. 1990. Al-Qur’an dan Terjemahan. Depag RI.
Anonim. 1997. Konsep dan etika kerja dalam Islam. Almadani.
Anonim. 1990. Mengangkat Kualitas Hidup Umat. Jakarta: Dirjen BIMAS Islam.
Shihab, Quraish. 1998. Wawasan al-Qur’an. Jakarta: Mizan.
Wagino, Asnan Syafi’I. Menabur Mutiara Hikmah. Jakarta: Mizan
Muhammad bin Allan. 1995. Dalilul Falihin Juz 2. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Imam Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad al-Qasthalani. 1996. Irsyadus Syari’, Syarah
Shahih al Bukhori. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al-imam Abi Bakar Ahmad Ibn Husein Al-Baihaqi. Syu’bul Iman juz. 2. Beirut: Ad-Darul
Kutubul Ilmiah.
Al-Math, Muhammad Faiz. 1991. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema Insani Press.
Website:
Komentar
Posting Komentar