Mahkum Bihi dalam Ushul Fiqih
Mahkum Bihi
dalam Ushul Fiqih
----------------------------------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas bimbingan dan
petunjuk serta kemudahan yang diberikan oleh-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Mahkum Bihi dalam Ushul Fiqih” dengan baik
tanpa ada hambatan yang berarti. Penyusunan makalah ini wujud untuk memenuhi
salah satu tugas kelompok mata kuliah Ushul Fiqih. Makalah ini berisi tentang definisi
dari mahkum bihi, penjelasan dan bagian-bagian dari hukum wajib, mandub,
sunnah, dan hukum haram dalam ushul fiqih.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dimana pun. Serta dapat
menjadikan makalah ini sebagai salah satu contoh dalam pembuatan
makalah-makalah yang lainnya. Kami sebagai penyusun makalah ini sangat
mengharapkan saran, kritik, dan masukan dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini.
Cirebon,
25 Juni 2016
Firda Wardatul Jannah. dkk.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
kajian ushul al-fiqih, terdapat istilah al-hakim, mahkum bihi, mahkum fihi dan
mahkum alaihi. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai
pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama, sehingga perlulah kita
mengetahui serta memahami apa itu al-hakim, mahkum bihi, mahkum fihi dan mahkum
alaihi.
Karena
semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri.
Ushul Al-Fiqih merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih
dalam penggunaanya. Konsep dasar tentang al-hakim, mahkum bihi, mahkum fihi dan
mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta
penggunaanya dalam hukum islam.
Sebagai
mukallaf, konsep ini perlu diketahui
serta dipahami semua umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam makalah ini
kami akan memaparkan beberapa hal berkaitan dengan arti dan definisi dari
mahkum bihi, penjelasan mengenai hukum wajib, pembagian hukum wajib, penjelasan
mengenai hukum mandub dan bagian-bagiannya, penjelasan mengenai hukum sunnah dan
pembagiannya, penjelasan mengenai hukum haram serta bagian-bagiannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
- Apakah
definisi dari mahkum bihi?
- Bagaimana
penjelasan dari hukum wajib?
- Apa saja
macam-macam hukum wajib?
- Bagaimana
penjelasan dari mandub?
- Apa saja
bagian-bagian dari mandub?
- Bagaimana
penjelasan dari hukum haram?
- Apa saja
bagian-bagian dari hukum haram?
C. Tujuan
Tujuan
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih, dan
juga untuk berbagi pengetahuan mengenai penjelasan dari mahkum bihi, penjelasan
dan bagian-bagian dari hukum wajib, hukum mandub, sunnah, serta hukum haram
dalam kajian ushul fiqih.
-----------------------------------------------------------------------------
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih/Mahkum Bih
Untuk
menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul
menggunakan istilah mahkum fih,
karena di dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib
maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum,
baik yang bersifat diperintahkan maupun yang dilarang.[1]
Mahkum bih adalah perbuatan-perbuatan mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan
hukum). Tidak ada pembebanan selain pada perbuatan. Artinya beban itu erat
hubungannya dengan perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu apabila syari'at
mewajibkan atau mensunnahkan suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka
beban itu tak lain adalah perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan.
Ada pula yang menjelaskan bahwa Mahkum
bih itu adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan nadb disebut mandub, yang berkaitan dengan tahrim
disebut haram, yang berkaitan dengan karohah disebut makruh, dan yang berkaitan dengan ibahah disebut mubah, dan
yang berkaitan dengan hal ini disebut hukum taklifi
secara majaz.[2]
Mukallaf
adalah seorang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi
larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang dikatakan
mukallaf bila ia telah dewasa dan
tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal.
Hukum taklifi adalah firman Allah
SWT. yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau
memilih antara berbuat dan meninggalkan.[3]
a) Contoh
firman Allah SWT. yang bersifat mengharuskan untuk melakukan perbuatan:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan
taatilah Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nur: 56).
b) Contoh
firman Allah SWT. yang bersifat mengharuskan meninggalkan perbuatan:
“Janganlah kamu memakan harta di
antara kamu dengan jalan batil.” (QS. Al-Baqarah:188).
c) Contoh
firman Allah SWT. yang bersifat memilih (fakultatif):
“Apabila Shalat telah kamu
laksanakan maka bertebaranlah kamu di muka bumi.”
(QS-Al-Jumu’ah: 10).
Nadb
dalam hukun taklifi adalah khithab (perintah) Allah yang menuntut suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak mesti, misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Sedangkan Tahrim adalah khithab Allah yang
menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang mesti, misalnya
dalam surat Al-An’am ayat 151. Dan Karohah adalah khithab Allah yang
menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak mesti. Sedangkan
Ibahah adalah khithab Allah yang
bersifat pilihan antara melakukan dan meninggalkan, misalnya dalam surat Al-Maidah ayat 2. Penamaan kelima hukum taklifi itu secara ghalib (kebiasaan) karena tidak ada taklif dalam ibahah, nadb dan karohah.[4]
B. Pembagian Hukum Taklifi
1.
Wajib
Definisi wajib menurut syara’ adalah
sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk dikerjakan oleh mukallaf secara pasti,
yakni tuntutan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk
berbuat.[5]
Atau dengan kata lain, wajib yaitu perbuatan yang diberi pahala bagi yang
melakukannya dan disiksa bagi yang meninggalkannya.
Pembagian
Hukum Wajib
Para ulama Ushul Fiqih mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari
berbagai segi, yaitu:
a. Dilihat
dari segi waktu
1) Wajib al-muthlaq,
adalah sesuatu yang dituntut Syari’ untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya.
Misalnya kewajiban membayar kafarat
sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa
mengaitkan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
2) Wajib
al-mu’aqqat, adalah kawajiban yang harus
dilaksanakan orang mukallaf pada
waktu-waktu tertentu. Dengan kata lain ialah kewajiban yang harus dilakukan
pada waktu tertentu yang telah ditetapkan dan tidak boleh dilakukan diluar
waktu yang telah ditentukan.[6]
Seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Waktu di sini merupakan bagian
dari kewajiban itu sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban
itu belum ada. Wajib al-mu’aqqat
terbagi lagi dalam beberapa macam, yaitu:
a) Wajib muwassa’
(kewajiban yang mempunyai batas waktu yang lapang).
b) Wajib mudhayyaq
(kewajiban yang mempunyai batas waktu yang sempit).
c) Wajib dzu
asy-syibhain (kewajiban yang mempunyai batas waktu
yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara
berulang-ulang).
d) ‘Ada’
(amalan yang dilaksanakan untuk pertama kalinya pada waktu yang ditentukan syara’).
e) I’adah
(amalan yang dikerjakan untuk kedua kalinya pada waktu yang telah ditentukan,
karena amalan yang dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung uzur).
f) Qadha
(amalan yang dikerjakan di luar waktu yang telah ditentukan dan sifatnya
sebagai pengganti).
b. Dilihat
dari segi ukuran
1) Wajib
al-muhaddad, adalah suatu kewajiban yang ditentukan
ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu. Dengan kata lain ialah kewajiban
yang ukurannya sudah diketahui dengan jelas. Contohnya shalat lima waktu,
ukuran melaksanakan shalat lima waktu dari segi rakaat, rukun, dan syaratnya
telah ditentukan dengan jelas. Contoh lain adalah zakat, harga barang yang akan
dibeli, ongkos sesuatu yang disewa dan sebagainya.[7]
2) Wajib ghairu
al-muhaddad, adalah kewajiban yang tidak ditentukan
syara’ ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin
umat untuk menentukannya.
c. Dilihat
dari segi orang yang dibebani kewajiban
1) Wajib ‘Ain
yaitu perbuatan/kewajiban yang dimaksudkan untuk dilakukan oleh setiap individu
orang mukallaf, seperti melaksanakan
shalat, shaum Ramadhan, dan yang lainnya.
2) Wajib Kifayah
yaitu kewajiban yang dimaksudkan untuk dilakukan oleh seluruh mukallaf tanpa memandang kepada
kekhususan orang yang melakukannya. Tetapi dengan dilakukan kewajiban itu oleh
sebagian dari mereka maka gugurlah kewajiban itu, seperti shalat mayit dan
menguburkannya dan yang lainnya.
d. Dilihat
dari segi kandungan perintah
1) Wajib
al-mu’ayyan, adalah kewajiban yang terkait dengan
sesuatu yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, dan harga barang dalam
jual-beli.
2) Wajib
al-mukhayyar, adalah suatu kewajiban tertentu yang
bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya
pilihan dalam membayar kafarat.
2.
Mandub (Sunnah)
Secara bahasa
berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah ialah perintah yang datang dari
Allah untuk dilakukan oleh mukallaf tetapi tidak sampai kepada derajat wajib.[8] Dengan
kata lain, Mandub
yaitu perbuatan yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak disiksa
bagi yang meninggalkannya. Adapun definisi Sunnah
adalah apa yang bersumber dari Rasul, perkataan, atau perbuatan atau
ketetapannya.[9] Sunnah
merupakan sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. secara rutin.
Pembagian
Mandub
Mandub terbagi kepada beberapa bagian
yaitu:
a. Sunnah
al-mu’akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) dan
sebagai penyampurna kewajiban, seperti shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat
fardhu’, berkumur waktu berwudhu’, adzan, shalat berjama’ah, dan lail-lain.
b. Sunnah ghairu
al-mu’akkadah (sunnah biasa) yang tidak ditekuni oleh
Rasulullah, hanya beberapa kali dikerjakan dan juga beberapa kali ditinggalkan.
Seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin dan Kamis.
Sunnah seperti ini disebut juga denga istilah mushtahab atau nafilah.
c. Sunnah
al-za’idah (sunnah yang bersifat tambahan) dalam hal mengikuti
kebiasaan Rasulullah sebagai seorang manusia. Seperti cara tidur, cara makan,
dan cara berpakaian menurut sifat yang dilakukan oleh Rasul.
d. Sunnah ‘Ain
seperti shalat rawatib.
e. Sunnah Kifayah
seperti mengucapkan salam dan mendo’akan orang yang bersin.
3.
Haram
Haram yaitu perbuatan yang disiksa bagi
yang melakukannya dan diberi pahala bagi yang meninggalkannya. Nama lain dari
haram adalah ma’shiyat dan dzanbun (dosa).
Pembagiannya
Haram dapat dibagi menjadi haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Apabila keharaman terkait
dengan esensi (zat) perbuatan haram itu sendiri, maka disebut dengan haram li dzatih. Dan apabila terkait
dengan sesuatu yang diluar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk
kemafsadatan, maka disebut haram li
ghairih.
a. Haram li dzatihi,
yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar’i tentang keharamannya.
Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, meminum minuman keras, berzina,
membunuh dan memakan harta anak yatim.
b. Haram li ghairih,
yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, tetapi dibarengi oleh sesuatu
yang bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya
mudarat tersebut. Misalnya melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghasab (mencuri), melakukan transaksi
jual beli ketika suara adzan shalat jum’at telah berkumandang atau jual beli
yang mengandung unsur penipuan, pernikahan tahalal/muhallil (parantara) bagi
istri yang telah tertalak tiga, puasa terus-menerus (siang dan malam) dan pausa
di Hari Raya Idul Fitri.
Shalat pada
dasarnya di syariatkan, tetapi karena dilaksanakan dengan memakai pakaian hasil
ghashab, atau puasa itu dilaksanakan pada waktu terlarang,
maka shalat atau puasa itu menjadi haram. Jual beli pada dasarnya diperbolehkan
ketika dilaksanakan pada waktu adzan shalat jum'at berkumandang maka jaul
belinya menjadi haram. Dengan demikian, haram li
ghairih pada awalnya perbuatan
yang dilakukan itu syariatkan atau dibolehkan tetapi karena dibarengi oleh
sesuatu yang bersifat mudarat atau mafsadat dalam pandangan syar'i, maka perbuatan itu menjadi
haram.[10]
-----------------------------------------------------------------------------
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk
menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul
menggunakan istilah mahkum fih,
karena di dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib
maupun yang hukum haram. Mahkum bih adalah perbuatan-perbuatan mukallaf yang
dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Tidak ada pembebanan selain pada
perbuatan. Artinya beban itu erat hubungannya dengan perbuatan orang mukallaf.
Dalam
pembagian hukum taklifi, hukum wajib adalah perbuatan yang diberi pahala bagi
yang melakukannya dan disiksa bagi yang meninggalkannya. Para ulama Ushul Fiqih
mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi berdasarkan beberapa segi, yaitu
dilihat dari segi waktu, dilihat dari segi ukuran, dan dilihat dari segi
kandungan perintah. Mandub yaitu
perbuatan yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya. Mandub terbagi kepada beberapa bagian yaitu sunnah al-mu’akkadah, sunnah ghairu al-mu’akkadah, sunnah al-za’idah, sunnah ‘Ain, dan sunnah
Kifayah
Sunnah
adalah apa yang bersumber dari Rasul, perkataan, atau perbuatan atau
ketetapannya. Sunnah dapat dibagi atas tiga bagian yaitu sunnah mutawatir, sunnah
masyhur, dan sunnah uhad. Adapun hukum haram yaitu perbuatan yang disiksa bagi
yang melakukannya dan diberi pahala bagi yang meninggalkannya. Haram dapat
dibagi menjadi haram li dzatihi dan
haram li ghairihi.
Saran
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dimana pun serta dapat
menjadikan makalah ini sebagai salah satu contoh dalam pembuatan
makalah-makalah yang lainnya. Kami sebagai penyusun makalah ini sangat
mengharapkan saran, kritik, dan masukan dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini.
---------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu
Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2012. Ilmu
Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Rosidin, Dedeng. Abdurahman, Rizki.
2014. Ilmu Ushul Fiqih Dasar-dasar
Memahami Hukum Islam. Bandung: Ar Raafi.
Shidiq, Sapiudun. 2011. Ushul Fiqih.
Jakarta: Penerbit Kencana.
Syafe’I, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka
Setia.
[1]
Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (CV.
Pustaka Setia, Bandung: 2010), Hlm.317.
[2]
Dedeng Rosidin dan Rizki Abdurahman, Ilmu
Ushul Fiqih Dasar-dasar Memahami Hukum Islam, (Ar Raafi,
Bandung: 2014),
Hlm.11.
[4]
Dedeng Rosidin dan Rizki Abdurahman, Ilmu
Ushul Fiqih Dasar-dasar Memahami Hukum Islam, (Ar Raafi,
Bandung:
2014), Hlm.12.
[5]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Pustaka
Amani, Jakarta: 2003), Hlm.145.
[6]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Penerbit Kencana, Jakarta: 2011), Hlm. 128.
[7] Sapiudin Shidiq,
Ushul Fiqih, (Penerbit Kencana, Jakarta: 2011), Hlm. 129.
[8]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqih, (Penerbit Kencana, Jakarta: 2011),
Hlm.130.
[9]
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (PT Rineka Cipta, Jakarta:
2012) Hlm.36-37.
Komentar
Posting Komentar